[Cerpen] APRESIASI

aPRESIASI

Romance Short Story oleh Mulya Saadi

Editor: M. Nuchid


“Hai, Bin!” Tiba-tiba Ima menyeruduk punggungku dari arah belakang, hingga ijazah dan beberapa hadiah yang kupegang lepas dari dekapan. Boneka rajutan, bunga imitasi, buku, dan hiasan lumba-lumba dari benang rajutan, berserakan di tanah.

Melihat dengus kesalku, Ima malah terkekeh. Sudah sangat lama rasanya kami tidak bercengkerama. Terakhir kali, hubungan kami berakhir canggung.

“Wah … ternyata kamu bisa mendengus juga, ya? Aku kangen tau sama celetukan-celetukan filosofis kamu. Selamat wisuda, Bintang!” ucap Ima sambil membantuku membawakan barang.

Kami pun menepi ke area duduk di bundaran pohon beringin. Di sana beberapa wisudawati yang kelelahan dengan high heels mereka tengah mengistirahatkan diri di kursi panjang.

“Biiin …”

“Apa?” jawabku agak sinis. Tapi sebenarnya aku tak bermaksud demikian.

Dan ternyata Ima menanggapiku dengan memasang wajah kecut. Ia mengencangkan gurat keningnya seolah berpikir kenapa aku selalu menampik keceriaan-keceriaannya? Padahal, masalah pertemanan yang kala itu sempat menguji kesetiaan kami pada hubungan saling menghargai sudah lama berakhir. Meski berakhir dengan ending yang kikuk.

“Bintang, kamu tahu? Aku dari Makassar, dan … menghadiri wisudamu. Apa itu bukan sesuatu bagimu?” tandas Ima. Ia cukup berani mengatakan sentimennya kali ini. Biasanya ia selalu menahan diri.

“Aku tidak memintamu datang.”

Hening.

Apakah jawabanku terlalu berlebihan? Tapi, kurasa, selama aku jujur, tak akan ada masalah. Aku memang tidak pernah meminta Ima untuk datang di hari wisudaku ini. Aku tahu kalau dia berada di belahan bumi dengan time zone yang berbeda dengan domisiliku. Jadi, aku justru menghargai ketidakhadirannya ketimbang dia hadir tiba-tiba dan membuat perutku melilit akibat shock.

“Ha ha. Benar juga. Aku lupa kalau kamu itu tipe orang yang tidak suka tempat ramai. Bahkan kamu sebenarnya enggak mau hadir di acara wisudamu sendiri, kan?” respon Ima telat dan tepat, mengulang ucapanku setahun lalu. “Oh iya, Bin. Ada titipan salam selamat wisuda dari Taga.”

Taga?

Lelaki jangkung yang songongnya selangit itu mengucapkan selamat padaku? Aku pasti punya utang besar padanya. Tidak mungkin ia mengingat apapun tentangku jika ia tidak punya kepentingan tertentu. Tunggu. Utang … Ah! Buku! Aku belum mengembalikan buku yang kupinjam setahun lalu! Sial! Bagaimana aku menghadapinya? Dia pasti mengejekku gara-gara ketinggalan wisuda setahun lebih sejak pinjam buku darinya untuk referensi menulis skripsi.

Cihh …

Aku merengut sejadinya hingga membuat Ima tampak khawatir. Tak lama, kudengar suara statis yang ternyata berasal dari ring tone jadul Ima. Ia pun langsung mengangkat telpon yang entah dari siapa itu dan berjalan sedikit menjauhiku.

Dari gesture-nya, Ima seperti sedang kena omelan seseorang. Dia mengangguk-angguk sopan seperti mengiyakan ucapan lawan bicaranya. Lalu ia pun mengakhiri sesi telepon dengan desahan panjang.

Jika memang ia datang dari Makassar, berharap saja ia tidak nekad membolos kerja di kantornya hari Senin besok.

Aku pun mencari-cari keberadaan orang tuaku, termasuk Bude Niken, Bude Atikah, Bude Tin, beserta anak-cucunya—kedatangan mereka sungguh membuatku tidak enak hati. Tiga keluarga besar teman baik orang tua di Jogja ini hadir semua dengan mobilnya masing-masing.

Parade.

Bak hadir di acara hajatan saja. Padahal, aku hanya wisudawati biasa. Tidak pakai selempang bertuliskan cumlaude seperti kebanyakan teman seangkatan lain. Juga belum dapat panggilan kerja dari instansi tertentu yang sangat antusias dengan fresh graduate. Apalagi punya ekspektasi bakal dilamar di tempat. Tidak sama sekali. Nonsense! Sungguh wisudawati paling biasa dari yang biasa pada periode kelulusan tahun ini.

Maka dari itu, sepanjang acara, perutku terasa melilit. Orang tuaku terlalu senang, bude-budeku terlalu bahagia. Dan Ima juga ikut-ikutan dalam lingkaran keceriaan mereka. Sok akrab dan mengaku-aku sebagai teman yang paling berpengaruh dalam hidupku.

“Bintang Arisa Nadia!” Sebuah suara tak kukenal menjalar masuk ke telingaku.

Lantas, aku menoleh untuk mengonfirmasi siapa gerangan yang dengan lancang telah mendikte nama aktaku. Dari tempatnya, sosok berambut berdiri itu berlari tegopoh mendekatiku dan langsung menjulurkan tangan isyarat memberi selamat. Namun, sebentar kemudian ia menarik tangannya kembali dan terkekeh menggaruk-garuk belakang kepalanya.

“Lupa,” ucapnya kemudian. Dia pasti sadar kalau aku bukan tipe orang yang hobi berjabat tangan dengan lelaki—semacam standar yang kutetapkan untuk menjaga wibawa.

“Selamat, ya!”

Aku tersentak. Lagi-lagi aku tidak menyangka ada orang seangkatan yang memberi selamat. Apalagi Jihan tidak satu jurusan denganku. Aku mengenalnya saat pra kuliah dulu dan sempat duduk sebelahan saat kuliah umum. Pribadinya hangat dan keceriaan alaminya membuat siapapun akan betah berlama-lama mengobrol dengannya. Termasuk aku. Aku tidak perlu malu menyangkal ini. Karena ini fakta.

“… sama kamu, Bintang.”

“Ha? Kamu bilang sesuatu?” aku kikuk sendiri karena terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri.

Bukannya menjawab, Jihan malah bergeming. Sejenak mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi ia katupkan kembali dan malah tersenyum lembut lalu pamit tanpa menjawab pertanyaanku. Ia berlari ke kumpulan orang-orang di dekat pintu gedung dan ber-double high five dengan dua orang berpakaian batik.

“Ck, apa sih?”

“Hei! Mau sampai kapan mukamu ditekuk begitu?” Ima lagi-lagi menyeruduk punggung. Namun kali ini ia lakukan dengan lebih pelan. “Ini, ada undangan dari Alisa,” tambahnya menyodorkan sebuah kertas berplastik dengan judul “Undangan Pernikahan”. Di kolom penerima tertulis nama Bintang dengan titik dua dan angka tiga. Mirip emoticon wajah kucing. Alisa memang tahu kalau aku begitu freak dengan binatang berbulu itu.

Kubuka undangan dan tentu saja mataku langsung mencari-cari nama calon suami Alisa. Al—

“Alfian Antaga. Yap. Aku udah menduga, sih.”

Aku sebenarnya tidak hobi lebai, tapi entah kenapa serasa ada suara ombak pecah di samudra gaib. Ia bergulung-gulung menumbuk karang harapan dan menyemburkan cipratan kekecewaan. Kutahu air laut memang asin, tapi air laut yang satu ini rasanya sangat pahit. Seperti daun bratawali dijus dengan buah naga dan daun pepaya.

“Oh,” responku pendek. Tepatnya, aku tak bisa merespon dengan kata-kata lain. Aku terlalu kaget. Orang yang sudah kusukai sejak lama ternyata akan menikah dengan orang yang cukup dekat denganku. Alisa.

Kutarik napas dalam dan kuembuskan sembari membuang rasa kecewa senatural mungkin. Di dunia ini tidak boleh ada yang tahu kalau seorang Bintang menyukai seorang Taga. Setelah itu, segala apa yang diucapkan Ima menguap begitu saja. Kini aku tenggelam pada kegemingan dalam waktu yang tak dapat ditentukan.

* * *

Aku rasa ini kesempatan terakhir untuk bertemu dengan Taga. Yaitu di sebuah perhelatan romansanya dengan Alisa.

Aku mencengkeram pegangan paper bag berisi buku yang kupinjam darinya. Sial sekali aku malah lupa tak membawa kado apapun. Fokus Bintang hari ini sangat mengkhawatirkan.

Berada di lokasi yang penuh lautan manusia, kepalaku berputar. Rasa perut melilit selama acara wisuda seminggu lalu kembali terasa hari ini. Tak ada seorang pun yang kukenal di sini. Kucari-cari Ima, tapi tak kutemukan. Mungkin ia tidak bisa hadir karena sudah ambil semua jatah cuti untuk menghadiri wisudaku. Sial! Aku harus menemui Taga dan Alisa sendiri. Ini perang!

Melihat antrian yang sangat panjang menuju tempat pelaminan, aku semakin bertanya-tanya. Haruskah aku ikut dalam barisan? Aku tidak bawa kado. Kalau aku jujur dengan isi paper bag-ku, Alisa pasti kesal karena ia beranggapan kalau kedatanganku kesini hanya untuk menemui Taga, bukan menghadiri pesta pernikahannya. Gamang. Akhirnya aku memberanikan diri menemui penjaga buku tamu untuk minta tolong menitipkan paper bag-ku pada Taga. Kuselipkan serta kertas tulisan selamat alakadarnya. Lalu, aku pulang tanpa beban. Aku sudah menghadiri undangan dan mengucapkan selamat. Kewajibanku tuntas.

* * *

Belum. Ternyata takdir belum memutus hubungan antara manusia Bintang dengan manusia Taga. Dua bulan setelah itu, kami tidak sengaja berada di lift yang sama di sebuah gedung pertemuan di Jakarta. Aku hampir pingsan berada berdua saja di dalam ruangan sempit ini. Sepertinya Tuhan belum puas mengaduk-aduk hatiku. Atau tengah menguji ketegaranku? Sebisa mungkin aku terlihat rileks.

“Waktu walimahan, kamu pakai jurus ninja ya?”

“Haaa?”

“Iya. Di buku tamu ada tapi orangnya enggak kelihatan. Alisa nanyain kamu terus.”

“Oh.”

Kulirik tombol lift masih menunjuk angka 12, butuh waktu yang agak lama untuk sampai di lantai dasar. Semoga Taga tidak satu tujuan denganku, hingga aku tak perlu menahan diri sebegitu rupa. Perutku melilit seperti saat acara wisuda dan acara pernikahan Taga.

“Kamu suka sama saya ya?”

“HAAA?”

Kali ini aku tidak bisa menahan diri untuk lebai. Samudra gaib yang kukenal saat wisuda itu kembali memecahkan ombaknya. Ia bergulung-gulung menumbuk karang ketegaran dan menyemburkan cipratan kerisauan. Jelas-jelas kutahu air laut memang asin, tapi air laut yang satu ini rasanya sangat kecut. Seperti jeruk nipis dijus dengan buah limus—sejenis mangga—dan sebotol cuka.

“Saya merasa kamu suka sama saya sejak lama. Hm … semester dua?”

“Taga, kamu enggak usah bercanda.”

“Saya enggak bercanda.”

“Kalau begitu, tidak perlu bahas hal macam-macam.”

“Hm … jadi benar kamu suka sama saya?” simpulnya tak nyambung. Dia memang tak punya premis yang memadai untuk membentuk konklusi logikanya saat ini. Tapi, kemudian dia menambahkan, “Alisa juga. Tapi dia bilang. Kamu enggak.” Pernyataan ini membuatku yakin jika ilmu logika tidak selogis kelihatannya.

“Ha? Kamu mau ngejek aku?”

“Saya cuma mau bilang makasih sudah suka sama saya. Memang sebelumnya banyak orang yang suka sama saya, sih. Tau lah. Tapi, saya rasa karena kamu begitu patah hati, jadi saya, yah … semacam apresiasi.”

“Ap—“ Berengsek! Taga berengsek!

“Kalaupun kamu bilang lebih dulu dari Alisa, belum tentu juga saya menerimamu,” tambahnya sambil manggut-manggut entah apa maksudnya.

“Jangan gede rasa, ya. Aku …”

Clak.

Sekarang air mataku malah menetes. Ini sangat tidak keren! Kenapa aku malah bersikap cengeng? Aku harus keluar dari lift ini, tapi tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali. Kesadaranku pun menyerpih dan berjatuhan ke lantai. Aku mengepalkan tangan untuk meredam napasku yang tersengal-sengal.

“Bi—Bintang? Kamu, kenapa nangis?” ucap Taga agak panik.

“Enggak apa-apa. Aku kekurangan hormon serotonin.”

“Lain kali, kalau kamu suka sama orang, bilang. Kamu terlalu banyak memendam perasaan. Saya yakin di hati kamu itu bukan hanya setumpuk rasa cinta yang tak terucapkan aja. Tapi juga rasa benci, marah, kesal, kecewa, sedih, dan lainnya, menggumpal jadi satu di situ.”

“Berani sekali kamu menasihatiku.”

“Ya. Nasihat itu memang menyebalkan. Itu sikap orang yang tidak suka menerima kenyataannya. Ha ha … maaf, maaf. Saya bercanda. Bin, mumpung saya masih ada di sini, adakah sesuatu yang ingin kamu ucapkan?”

“Ha? Bicara apa kamu, Taga?”

Lelaki jangkung itu tampak tersenyum. Dia pun merogoh saku celananya dan mengambil gadget yang tersimpan di sana. Ia gerak-gerakkan tangannya di layar hingga beberapa detik kemudian Taga menunjukkan sebuah foto dokumen.

“Apa itu?” tanyaku penasaran. Jangan-jangan ini permainan logika Taga lagi.

“Baca saja. Jangan buat tanganku pegal.”

Mengangguk patuh, aku pun menelusuri kalimat demi kalimat di foto dokumen gadget Taga. Dan semakin lama, jantungku semakin cepat bunyinya, bahkan hampir overbeat.

“Dalam bahasa modern, foto dokumen ini disebut dengan surat cinta. Itu untukmu. Saya membuatnya setelah melihat kamu tersenyum seperti orang gila saat melihat seekor kucing berguling-guling di halaman fakultas saat masa orientasi dulu.”

“Oh. APA? GILA!”

Taga tertawa lepas.

Cih …

Kalau Taga benar, bahwa Taga suka padaku sejak awal, kenapa dia tidak bilang? Dia malah menggunakan logika Alisa. Katanya, Alisa bilang; sedangkan aku tidak. Itu namanya bukan jawaban. Itu namanya kesesatan berpikir. Benar-benar buruk logika Taga. Jangan-jangan dia bukan manusia.

“Kalau kamu mau dan Alisa mengizinkan, saya bisa poligami,” candanya terdengar berengsek.

“Tidak. Terima kasih tawarannya. Aku tidak se-desparate itu mendengar orang yang kusukai berjodoh dengan orang lain.”

Setelah bunyi ting! klasik di lantai 3, Taga pun keluar dari lift. Setelah berada di seberang ia menoleh lagi dan menggerakkan telunjuk dan jari manisnya dari kening lalu dibuang ke udara sambil tersenyum angkuh. Sosoknya tak kelihatan lagi sekarang. Bagus. Sebaiknya segera lenyap saja dia.

Tapi tidak!

Sosok Taga memang sudah hilang dari pandangan, tapi tidak dengan kata-katanya. Ucapan menyebalkan Taga berputar-putar lagi di memori dan menyerang kesadaranku.

Memang benar apa yang ia katakan. Aku terlalu menumpuk perasaan. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Aku sedang mencoba menerapkan prosedur verifikasi yang aman dan terkendali saja. Dia tidak paham. Dan aku tak perlu memahamkan.

Tapi, mungkin menarik apa yang ia ucapkan itu. Anggap saja ada sebuah bug yang menyerang sistem firewall-ku, membuatku kembali mengingat sosok yang sempat memberiku selamat secara kurang meyakinkan di acara wisuda kala itu. Jihan.

Jihan ingin mengatakan sesuatu waktu itu. Kira-kira apa yang hendak ia ucapkan? Aku tahu dia suka tersenyum kalau kami bertemu. Bukan senyuman seperti Taga. Senyuman Jihan manis. Bukankah itu bisa menjadi konklusiku bahwa dia menyukaiku. Setidaknya premisku memadai. ‘Lelaki yang membuat senyum manis pada perempuan, berarti dia suka’; ‘Jihan adalah laki-laki dan dia membuat senyum pada perempuan (aku)’. Artinya Jihan suka padaku. Dan itu yang ingin ia katakan saat wisudaku dulu.

“Kalau begitu, aku harus bilang pada Jihan kalau aku suka senyumannya.”

12 thoughts on “[Cerpen] APRESIASI

Tinggalkan pesan