[Kelas] PROSES KEJAM MELATIH DIRI MENULIS

Oleh: Bang Ical

Editor: Mulya Saadi

Sebagai bloger aktif yang juga merupakan penulis buku, Bang Ical membagi pengalamannya tentang bagaimana dulu ia berlatih menulis. Ia bilang, prosesnya itu kejam. Berikut kronologinya :

Pertama, saya menyiksa diri dengan menulis tujuh paragraf setiap harinya. Kenapa tujuh? Karena suka saja.Tidak boleh absen sehari pun. Kedua, saya ‘menyiksa’ orang lain dengan mempublikasikan tulisan di Facebook sambil men-tag semua kawan, kenalan baru, dan orang-orang yang tidak saya kenal namun berteman dengan saya. Pada bulan-bulan awal, tidak ada satu pun yang me-like. Bulan berikutnya, ada satu orang yang me-like. Lama-lama, ada yang komen, “Semangat ya,” begitu. Kemudian ada yang komen lagi, “Mas, sering-sering buka kamus EYD ya.” Pernah juga ada yang komen, “Jangan tag saya lagi, ya.” Termasuk ada senior yang komen begini, “Tulisanmu jelek. Belajar lagi.” dan lain sebagainya.

Memang tidak setiap postingan saya tag ke orang lain. Sekali seminggu saja, kalau tidak salah. Tapi, kalau setiap posting saya harus mengalami kehampaan dan hinaan, lama-lama saya tidak kuat juga. Hingga akhirnya saya ingin menyerah, saya pun menemukan metode baru dalam belajar menulis, yaitu meniru dari penulis yang tulisannya sudah rapi.

Misalnya, Tere Liye. Saya suka Tere Liye dan dulu sangat terpengaruh dengannya. Awal belajar menulis, saya sering menulis ulang satu bab penuh novel Tere Liye, untuk menemukan sense menulis (membuka/menutup tulisan, pola kalimat kompleks, paragraf yang sinambung, kata disusun, konflik dibangun, tanda baca diatur, hal hal itulah). Jadi, saya tulis ulang bab-bab novelnya, lalu saya membuat cerita saya sendiri. Pola yang sama saya gunakan waktu belajar menulis esai.

Bagus kah setelah itu? Tetap jelek. Saya tahu itu karena saya getol masuk ke semua grup menulis di FB yang sedang tren waktu itu. Saya posting tulisan saya, dan masih sama, jarang ada yang menanggapi. Tapi sejak tahun 2012, tulisan saya banyak berubah. Darimana tahunya? Dari respon. Cerpen saya banyak yang suka, artikel saya banyak yang menyetujui (meskipun kalau saya baca hari ini : kok, jelek sekali?).

Sekarang usaha ‘memaksa diri menulis setiap hari’ itu membuahkan hasil. Meskipun tidak menulis beberapa bulan (karena galau, misalnya), saya tetap tidak kehilangan sense itu. Saya berani menerbitkan buku sejak tahun 2013. Karya saya ada beberapa, yaitu “Kasih Mamak”, “Bantal”, “Jangan Hanya Bertapa Dalam Sunyi”, “Terlalu Cinta”, dan yang akan terbit di Basabasi Muda sebentar lagi, “Gerimis di atas Kertas”.

Apa pelajaran moral yang bisa dipetik dari kisah di atas?

1. Tulisan itu seperti pedang. Supaya kelihatan bagus, harus dibakar di bara api dan tenaga besar dulu untuk menempanya keras-keras.

2. Setajam dan se-bermanfaat apa pun tulisan seseorang, juga seperti pedang. Harus dicoba-tebaskan ke orang lain (biarkan orang lain membacanya), baru deh tahu nilainya.

3. Setiap usaha tidak ada yang mudah. Memaksa diri menulis setiap hari sangat menjemukan. Lebih jemu lagi harus mengetik ulang novel atau esai orang lain untuk sekedar membangun sense. Tapi itu satu-satunya cara untuk membakar semangat.

4. Terakhir, lingkungan sangat menentukan kita dalam menulis. Bergaul dengan banyak orang baik di dunia nyata maupun maya berpengaruh pada proses menulis yang lebih cepat. Contohnya, di grup bloger. Kawan-kawan di sana adalah pecutnya.

Salam,

Bang Ical


Tanya Jawab

(T) Bisa disingkat dan diringkas tipsnya supaya konsisten dalam menulis?

(J) Tidak ada tips mudah untuk konsisten. Konsisten itu butuh motivasi kuat, sementara motivasi tiap orang berbeda-beda. Pun ketika ia memutuskan untuk belajar menulis secara serius. Motivasi itu yang menentukan sekeras apa proses yang sudi dia jalani.

(T) Apakah di awal menulis Bang Ical sudah punya cita-cita ingin menjadi penulis profesional sehingga begitu keras usahanya meskipun berat djalani?

(J) Dulu, motivasi saya cuma narsis. Ingin jadi penulis, tapi ingin-inginan saja. Kedua, saya menulis untuk memperbaiki komunikasi verbal saya yang kurang.

(T) Bagaimana memulai debut penerbitan karya? Apa pilih penerbit mayor atau indie.

(J) Baik indie maupun mayor punya kelebihannya masing-masing. Bergelut di indie dulu bisa memantik semangat menulis. Beda lho, rasanya melototin naskah di laptop dengan memegang buku (ya, buku!) bikinan sendiri di tangan. Terutama, bila ia dibaca, dan pembacanya terhanyut dalam tulisan kita. Kebanggaan itu bisa meluap, dan semangat untuk berkarya lagi dan lagi itu semakin membara.

Maka, saya memilih jalur indie. Yang penting, jadi buku dulu. Meski penerbit mayor menolak naskah saya berkali-kali (itu wajar, mereka pembaca yang ahli), tapi saya berkelit, larikan naskah itu ke penerbit indie. Hanya saja, janganlah sampai terlalu nyaman hanya di indie saja. Di indie, naskah mudah diterbitkan, hanya edit-edit kata-kata saja. Di penerbit mayor, kita bisa seperti orang skripsi-an. Buku tidak hanya diterbitkan, tapi kita juga dibimbing serius.

(T) Selama perjalan menulis, apakah pernah ada pikiran untuk berhenti menulis ketika karya dipandang sebelah mata oleh pembaca lain? Jika iya, bagaimana sikap Bang Ical saat itu?

(J) Sering patah hati. Sering ingin berhenti. Sering muak sama tulisan sendiri. Tapi, ndak tau, ujungnya nulis lagi.

Akhir kata, tidak ada usaha yang mudah. Tempalah diri sekeras mungkin. Baja yang ditempa terus menerus akan menghasilkan pedang yang tajam. Uji cobalah pedang itu hingga tahu di mana kegunaannya. Evaluasi diri lah, dan bergaul dengan banyak orang untuk memperoleh suasana menulis yang lebih kaya. Sejauh ini tidak ada jalan pintas untuk meraih cita-cita. Satu-satunya cara hanya menempa diri. Semangat!


Tulisan ini adalah hasil kelas online yang diadakan oleh komunitas Obrolin pada Senin malam, 21 Mei 2017, pukul 20.00-22.000 WIB dengan moderator Cinta Nungky Lestari.

24 thoughts on “[Kelas] PROSES KEJAM MELATIH DIRI MENULIS

  1. mari semangat, tuh dah dikasih tau proses menulis dan kisah. semoga semakin ahli dalam merangkai kata, menebar manfaat, sukur sukur bisa jadi tambahan income. apalagi nanti malah jadi penghasilan utama. good luck.

    Liked by 1 person

  2. Mantap. Terima kasih share pengalamannya. Jadi memang tak ada yang bisa dicapai tanpa bersakit2 dahulu ya. Namun demikian dalam prosesnya kan tetep bukan sebagai sebuah keterpaksaan, meskipun sakit tapi menikmati proses itu.

    Bermanfaat sekali ulasannya.
    🙂

    Liked by 1 person

  3. Meski tidak sekejam bang Ical dan mengawali tulisan saya dari catatan harian khas emak2 tapi ketika saya mulai fokus di fiksi prosesnya juga melelahkan. Dikritik pedas hingga dituding nyolong karya orang pun sudah. Bahkan ironisnya, tudingan itu datang saat saya sedang promo novel pertama saya. Tapi yasudahlah… Itu sebagian proses yang harus dijalani sebagian besar penulis. Bahkan yang sekaliber JK Rowling saja pernah katanya belasan kali ditolak penerbit.
    Ayo yang merasa newbie bahkan yang sudah lama nulis kayak saya, tidak ada salahnya terus belajar biar tulisan kita makin bernas. Salut buat bang Ical. 👍👍👍

    Liked by 1 person

  4. Kami pernah mencoba untuk bangga dengan tulisan sendiri.
    Tetapi ternyata itu hampa lho teman…..
    Semakin kita bangga dengan diri sendiri maka semangat untuk memulai tulisan cenderung melemah.
    Tetapi saat tujuan kita untuk berbagi manfaat dengan sesama, niscaya energinya selalu rechargerable.
    Terimakasih sangat menginspirasi.
    Salam santun!

    Liked by 1 person

  5. pokoknya need efforts, need pain, need exercise to be real writer. Bang Ical emang luar biasah, saluuute ! Tulisan ini cukup menampar wajah ana buat bangun dan menulis 🙂 terima kasih bang

    Liked by 1 person

Tinggalkan pesan