[Cerbung] Green Corvus – Episode 1

Sebuah cerbung oleh Bunda Dyah

Editor : M. Nuchid

 

 Suatu malam, di Thousand Rivers.

Sudah larut malam. Tapi Andromeda belum juga bisa memejamkan matanya. Sejak merebahkan tubuhnya di ranjang pukul sembilan tadi, dia hanya sibuk membolak-balikkan badan saja, sambil sesekali menghela napas panjang. Udara dingin kota Thousand Rivers tak mampu membuatnya terlelap seperti biasanya. Andromeda justru merasa kegerahan hingga harus membuka selimutnya.

Sejurus kemudian, lelaki yang akrab disapa dengan ‘Dom’ itu, bangun dari ranjangnya dan menghampiri meja kerja. Menyalakan lampu duduk warna merah terang, dan kembali menekuri berkas-berkas kasus yang sedang ditanganinya.

“Kasus pembunuhan yang rumit,” gumamnya. Ya, Andromeda memang sedang menangani kasus pembunuhan yang cukup memusingkan. Pembunuhan yang sudah menelan empat korban itu tergolong aneh. Semua korbannya adalah senior editor sebuah penerbitan. Keempatnya meninggal secara misterius dengan lebam membiru di dada kiri. Lebamnya pun berbentuk aneh. Telapak kaki burung berukuran besar. Entah burung macam apa?

Hasil otopsi menunjukkan bahwa jantung keempat korban hancur, meski tak ditemukan penyebab pastinya secara medis. Bahkan, pihak kepolisian secara khusus mendatangkan dokter forensik dari Amerika dan Korea untuk membantu jalannya otopsi. Tapi sia-sia saja. Tak ada petunjuk yang jelas, mengapa mereka mati mendadak dengan jantung hancur serupa serpihan abu. Apalagi, dalam tubuh korban juga tak ditemukan sisa racun atau minuman keras yang dikonsumsi secara berlebihan. Semuanya memiliki gaya hidup yang normal dan sehat.

Modus dari pelaku pun, tampaknya sulit ditebak. Terlebih keempat korban dikenal sebagai orang baik-baik dan lurus-lurus saja, baik oleh keluarga maupun sesama awak penerbitan. Jika penyebabnya dendam, dendam karena apa? Korban, semuanya religius dan dikenal tak punya musuh. Atau, seseorang yang pernah mereka tolak naskahnya? Entahlah, tak ada jawaban pasti.

Andromeda mengembuskan napasnya berat. Sesak sekali dadanya. Kapten polisi muda itu benar-benar kebingungan. Tak ada satu petunjuk pun tentang kasus ini. Bahkan olah TKP pun tak memberi petunjuk-apa-apa.

Rumah korban dalam keadaan tertutup rapat saat pembunuhan diperkirakan sedang berlangsung. Tak ada upaya membuka paksa seperti mencongkel pintu, memecahkan kaca jendela, atau mencoba masuk lewat atap. Yang lebih membuat sesak lagi, semua korban meninggal di ranjang mereka masing-masing, saat mereka tertidur lelap bersama istri masing-masing. Kejadiannya pun seolah tak ada yang melihat bahkan menyadarinya. Selalu saja korban terlihat seperti tertidur, hingga seseorang memeriksa denyut nadi atau napas mereka, saat mereka tak juga terjaga di jam-jam mereka biasa bangun tidur.

“Kasus pembunuhan macam apa ini? Kenapa memusingkan sekali? Tak ada petunjuk apa pun. Semuanya nol. Lantas, dari mana mesti memulai penyelidikan?” Dihempaskannya semua berkas ke atas meja, lalu diacaknya rambut cepaknya yang sedikit ikal. Kemudian dia berdiri dan melangkah menghampiri Rocky, anjing kesayangannya.

“Kau tahu sesuatu, Rocky? Please, jika kau mencium sesuatu, katakan padaku. Oke?” Andromeda mengusap lembut punggung Rotweiller tua itu, lalu kembali ke tempat tidur. Jujur saja Andromeda mulai menyerah. Belum pernah dia mendapatkan kasus serumit ini.

“Ah, biar saja lah. Biar Tuhan yang bekerja kali ini, dan membisikkan padaku, siapa sebenarnya bajingan yang mesti kutangkap. Kalau sampai kasus ini tak terpecahkan juga, biar saja lah. Meski karirku taruhannya.” Andromeda menarik selimut hingga menutup hampir seluruh tubuhnya. Kemudian mulai memejamkan mata. Dan beberapa detik kemudian, kantuk yang sejak tadi menyiksanya membawanya menjemput mimpi yang  tertunda.

Sementara itu, beberapa kilometer dari tempat Andromeda, seorang lelaki muda berambut gondrong tampak termenung di depan televisi. Berita tengah malam yang biasanya menarik perhatiannya, tak lagi membuatnya berselera untuk menikmatinya. Sementara di meja kaca berkaki rendah yang ada di depannya, beberapa gelas bekas kopi tampak memenuhi meja, juga piring-piring kecil wadah penganan yang sudah ludes isinya.

Aries, nama lelaki muda itu, memang sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya benar-benar tak habis mengerti. Penolakan. Ya, penolakan terhadap naskah novel barunya. Dan ini bukan yang pertama. Sudah tujuh kali naskahnya ditolak oleh penerbit yang berbeda. Padahal biasanya, penerbit-penerbit itu berebut meminta naskah barunya untuk diterbitkan, agar segera menjadi best seller dan memberikan keuntungan yang besar.

Tapi kali ini berbeda. Naskahnya ditolak hampir semua penerbit besar di Thousand Rivers. Aries sedikit bisa mengerti, mengapa naskahnya mengalami penolakan. Bukan karena naskahnya yang buruk, tapi karena genrenya yang tidak biasa. Jika biasanya Aries menulis novel romantis, kali ini dia mencoba menulis genre fantasi. Satu genre yang tidak banyak dipilih penulis lain, karena memerlukan daya imajinasi yang luar biasa.

Aries  bukannya tidak berhasil menuliskan novelnya dengan baik. Dia berhasil. Bahkan, kata Aurora adiknya, yang sekaligus ilustrator novelnya selama ini, karya terbarunya itu sungguh bernyawa. Membuat siapa pun yang membaca merasa berada dalam cerita dan larut dalam petualangan tokohnya. Tapi entahlah, dia sungguh tak paham, mengapa naskah itu mendapat penolakan hingga berulang kali.

Aries mengembuskan napas dengan kesal sembari merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Kedua tangannya diletakkan di bawah kepala. Matanya kini menatap langit-langit kusam rumahnya.

Sebagai penulis yang novelnya selalu best seller, penolakan bukan sesuatu yang mudah diterimanya. Tapi apa mau dikata? Menolak atau menerima toh hak penerbit. Aries tak bisa lagi berkutik.

Tiba-tiba saja Aries mendengar Siro, anjing pudelnya, yang sedang tertidur di  perpustakaan sekaligus ruang kerjanya menyalak. Tak biasa. Bahkan beberapa detik kemudian dia terdengar seperti sedang sangat ketakutan. Sementara di luar, angin yang tadi hampir tak terasa embusannya, tiba-tiba bertiup kencang.

“Ada apa ini? Tak biasanya Siro menyalak keras.” Aries bangkit dari duduknya, mengikat rambut ala kadarnya dan beranjak ke perpustakaan tempat Siro berada. Tapi belum lagi sampai, suara Siro tak terdengar lagi, dan angin pun berhenti bertiup. Saat Aries membuka pintu, pudel betina putih itu tampak sedang berbaring dan sesekali melolong lirih, serta napas terengah dan tampak ketakutan. Matanya memadang ke arah jendela yang tertutup rapat, meski tirainya sedikit tersingkap.

Aries memeriksa seluruh bagian perpustakaan. Namun tak menemukan apapun, kecuali lembar-lembar naskahnya yang mendadak terbuka.

Apa iya, angin kencang tadi yang membuka lembar-lembar naskah ini? Aries menggeleng. Dia benar-benar tak mengerti.

.

.

Bersambung..

Episode selanjutnya

6 thoughts on “[Cerbung] Green Corvus – Episode 1

  1. Beda mas Nur… Detektifnya sama tapi beda kasus. Ini juga sudah pernah tayang di blog itu. Kalau yang pembunuhan di dermaga itu belum kelar baru tayang sebagian. Ini lagi on proses

    Liked by 2 people

Tinggalkan pesan