[Cerpen] Perempuan yang Meneguk Senja di Hari Pernikahan

Perempuan yang Meneguk Senja di Hari Pernikahan

Sebuah cerpen oleh : Tan Panama

Editor : M. Nuchid

 

Aku titisan Hawa, yang bersama kamu terusir dari surga. Cinta, bukan kata yang tepat menggambarkan kita. Tragedi, lebih mendekati.

Kita berdua adalah cerita yang berjalan terlampau rapuh. Dari kota dengan debur ombak yang selalu riuh. Kota yang menyimpan masjid megah di tepian pantainya, menghadap senja. Menghadap akhir pengembaraan manusia.

Akhir kita.

“Ini senja untuk kamu bawa. Simpan dalam hati,” katamu sembari menyodorkan kilauan jingga dari jantung Losari. Aku tersenyum, aku mengerti kau sedang meniru Sukab. Tapi, sadarkah kau bahwa Alina tak pernah mencintainya? Sementara aku … entahlah.

Kuambil kilauan itu dan meletakkannya di dalam tas. Kamu tampak tidak senang dan bertanya, “Kenapa bukan di dalam hati?”

“Hatiku penuh denganmu.”

Kau diam. Aku berharap lebih, namun wajahmu datar saja. Aku juga. Senja yang sendu bukan seleraku, harusnya kamu tahu. Tapi kamu tidak peduli, tidak pernah mau.

Kita, memang membuat geger para pecinta. Kamu senja, aku purnama. Tapi, sudah saatnya mereka sadar bahwa mata bukan alat mencari kenyataan dan kebenaran. Tak perlu kita tipu, mereka telah menipu diri sendiri. Dan kita, cukup saling melempar sendu.

Kebahagiaan masih lama. Begitu pula cinta.

Aku berbalik dan menjauh ditemani bongkahan senja dalam tas ransel. Berat. Langkahku melambat, lalu terhenti. Tanpa menoleh, aku bertanya padamu, “Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”

“Apa pun yang kamu inginkan.”

“Bagaimana dengan keinginanmu?”

“Sudah tak penting lagi.”

Angin laut membisikkan kabar tentang kegetiran yang tak mau aku dengar. Jari-jariku gemetar, menginginkan waktu membeku diam menyisakan lautan menggelegak sendirian. Menenggelamkan resah-resah yang tumpah ruah di tanah dan di awan.

Kita akan menikah sepuluh hari lagi, namun kaki kita malah semakin terseok dari hari ke hari. Sukarela menuju tiang gantungan. Martir hati.

“Apakah senja ini akan menyelamatkan kita?”

Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, kamu telah hilang. Hanyut, tenggelam dalam langit yang menghitam. Lebih baik aku bersegera saja menuju batas lautan, kembali ke angkasa.

Bukankah kisah cinta kita telah gagal sebelum dimulai? Ketika kautemukan, aku tak lebih dari perempuan malang yang ingin melihat bintang-bintang di dasar lautan. Dan kamu, laki-laki senja yang lenyap ketika malam. Percakapan kita selalu berulang dan tak pernah menemui jalan keluar.

“Aku ingin ikut kamu ke dasar laut.”

“Buat apa?”

“Aku ingin melihat bintang.”

“Bintang ada di langit, bukan lautan.”

“Bohong, aku yakin ada bintang-bintang di kedalaman yang jauh.”

Kamu menganggapku aneh, tidak rasional. Sementara aku tetap bersikeras ikut tatkala kamu lagi-lagi menyaru laksana karang. Bukan, bukan tanpa alasan. Pernah dua kali, aku melihat serpihan bintang di sakumu. Masih berpendar. Kau pasti pernah berenang-renang di antara mereka. Bintang-bintang itu.

Namun aku tahu, kamu bukan laki-laki yang mudah luluh. Kita berada jauh dan kisah-kisah enggan menjadi utuh. Tapi, syukurilah kita punya ruang hampa yang bisa menjadi tempat berkumpulnya rapalan doa.

Kita memelihara cinta di sana.

Dulu.

***

Terhitung lima hari dari sekarang. Harusnya, rasa cemas boleh hadir menjelang acara pernikahan. Tapi jika sampai membunuh kebahagiaan, tentu sudah keterlaluan. Keajaiban akan terjadi ketika kita mengucap janji.

Aku mengeluarkan senja dari dalam tas yang terkulai di lantai kamar. Ruangan tanpa jendela ini diselimuti cahaya jingga, gradasi merah, dengan semburat lembayung indah. Rindu sudah tiba di sini. Aku jadi ingin bertemu denganmu di tengah malam yang dingin nanti.

Dingin. Seperti kita sekarang.

Perlahan, kutuangkan senja darimu ke dalam botol kaca. Kujajarkan bersama senja lain di atas meja. Aku siap meminum semuanya di hari pernikahan kita. “Karena begitu cara mainnya,” katamu. Aku menurut saja.

Ratusan undangan telah disebar. Gedung dan katering sudah terbayar. Tidak ada yang kurang dari persiapan kita menggelar perhelatan. Kecuali rasa, kecuali cinta, kecuali bahagia.

Kita dua orang keras kepala yang rela melakukan apa saja demi cerita dengan akhir sempurna. Kita tidak suka menerka. Kita tidak suka berhenti, lalu berduka.

Kita harus menyelesaikan kisah ini meski luka membuat perih. Meski nanti, pelaminan kita harus dikelilingi tangis yang mengiris. Air mata kita, dan semua tamu undangan akan membanjiri kota. Memancing durjana dan meluruhkan awan-awan renjana.

“Apakah kamu mencintainya?” Sebuah cermin di belakangku bertanya.

“Perlukah cinta?”

“Tentu saja, kekuatan cinta mampu menggerakkan semesta.”

“Tidak perlu, cinta kami dulu tak membuat semesta berbaik hati.”

Cermin itu diam, bersungut. Aku melengos tak peduli. Cinta kami selalu mengkhianati hampir semua rencana. Dengan hati yang telah mati rasa, aku menyadari ada kekuatan lain yang mengendalikan gerak-gerik semesta lebih daripada cinta. Lebih daripada sekadar cinta.

***

Dan, hari yang bermasalah itu tiba.

Kamu memasuki ruangan, disusul aku yang sudah tak sabar membuat pertunjukkan. Ini hari pernikahan kita, hari berduka bagi mereka yang kita kenal. Kamu di sana, di kota matahari terbenam. Aku di sini, di kota dengan fajar yang bersinar. Masih pukul enam pagi, purnama masih ada.

Tangisan orang-orang tak membuat aku muram. Aku mati rasa. Kamu juga. Ini hari pernikahan kita, di tempat berbeda.

Dua orang perempuan berbisik-bisik di sudut ruangan.

“Jadi ini bagaimana ceritanya?”

“Iya, mereka sebar undangan pernikahan bulan lalu kan, kamu dapat?”

“Undangan warna hitam itu? Iya dapat. Lalu bagaimana?”

“Nah setelah bertemu di rumah laki-lakinya di Makassar, mereka berdua terbang ke Balikpapan. Tapi ya kamu lihat sendiri di berita. Mereka hilang pada kecelakaan pesawat 737 itu.”

“Hah, dua minggu menjelang pernikahan?”

“Iya, baru ditemukan hari ini. Mereka berdua.”

Salah satu dari mereka mengucap tahmid.

Aku memandangi mereka dengan wajah datar. Kugenggam erat empat botol berisi senja di kedua tangan. Tepat pukul tujuh, kamu juga akan meneguk botol-botol yang sudah kuberikan. Berisi bintang dan cahaya bulan.

4 … 3 … 2 … 1…

Aku menghabiskan semuanya. Orang-orang rusuh dengan cahaya jingga dari tubuhku. Kamu juga. Pasti tetanggamu akan gempar dengan bintang-bintang yang berkilatan itu. Huru-hara akan terjadi di media-media dan linimasa.

“Bagaimana rasanya?” Tanyamu dengan tatapan hangat yang memikat.

“Bebas,” jawabku sambil tersenyum semanis yang kumampu.

Kita menjadi sepasang pengantin pertama yang berikrar di atas samudra. Perlahan mengangkasa.

6 thoughts on “[Cerpen] Perempuan yang Meneguk Senja di Hari Pernikahan

Leave a reply to Nur Irawan Cancel reply